One Short Story
Aku menunggu di jalan ini, menggambarmu lagi
기다리고 있어 이 거리 널 다시 그리며
sepertinya tidak ada habisnya
끝이 없을 것 같던
Setelah menunggu lama, kamulah orangnya
오랜 기다림의 끝에 you're the one
Kau segalanya bagiku (kau segalanya bagiku)
You're my everything (you're my everything)
Saya ingin melindungi siang dan malam Anda (oh, oh)
그대의 낮과 밤을 지켜 주고 싶어 나 (oh, oh)
Kamu adalah keajaibanku
내게 기적이란 너야
-My Everything-
.
.
.
°°°°°°°
Hari ini saya kembali lagi, duduk di bawah lampu remang di seberang cafe, dengan sebucket tulip putih kesukaan dia, kekasih saya. Saya sangat merindukannya hari ini, itu sebab nya saya kembali. Meski sebenarnya saya merindukannya setiap hari. Aroma patrikor menyeruak ketika angin malam berhembus memeluk tubuh-tubuh manusia yang berada di luar, termasuk saya. Tapi tidak masalah, sebab hangat nya dia masih terasa pada tubuh saya. Saya sesekali membayangkan wajah cantik dia yang tersenyum, rasanya penat saya hari ini hilang seketika. Meski aroma tanah basah sangat kentara, aroma tubuh dia tetap saya ingat dalam kurun waktu yang tidak pernah usai. Saya tidak akan pernah lupa akan dirinya, tentu saja. Hari ini, rupanya dia tidak ada lagi. Dan bunga tulip putih ini lagi-lagi tidak pernah sampai pada sang terkasih. Tidak masalah, masih ada lain waktu hingga sampai pada nya dengan sangat layak. Masih ada hari besok untuk saya kembali lagi dan menunggu lagi. Sampai kita kembali bertemu.***
"Miko! Nih, kopi buat lo."
Saya tersenyum ramah setelah mengambil secangkir kopi dari teman saya-- Rendy. Dia juga pemilik cafe di seberang sana. Hari ini, mungkin saya tidak sendiri untuk menanti, kekasi saya--- Maya.
"Masih mau menunggu nya?" Tanya Rendy dan saya hanya mengangguk. "Iya, gak masalah kalau lama. Gua tetap di tempat yang sama."
Rendy hanya mengangguk. Kemudian saya dan Rendy sama-sama terdiam, sesekali suara klakson mobil dan motor akan bersahutan menemani malam yang sunyi ini. Sementara bunga tulip putih kesukaan Maya akan melayu sebab terlalu lama terkena angin dan tak kunjung sampai pada sang pemilik.
Kopi yang di beri Rendy masih tersisa sedikit, rasanya tetap sama namun suhu nya sudah berbeda-- kopi itu sudah dingin. Rendy cukup baik pada saya, jikalau ada waktu dia akan menemani saya, entah dalam bicara atau sunyi.
"Udah jam 10 nih. Makasih udah mau nemanin gua. Mungkin besok lagi." Kata saya, lalu berdiri untuk membuang cangkir kopi serta bunga teruntuk Maya ke dalam tong sampah. Bunga itu sudah layu, tidak lagi layak untuk kekasih saya.
Rendy pun mengangguk, "gak masalah Mik. Bagaimana pun juga kita harus tetap berusaha bertahan hidup. Gakpapa, bagaimana pun itu caranya." Rendy tersenyum ramah, yang mana saya malah merasa di tohok atas kalimat nya. Seolah kalimat Rendy barusan adalah belati yang berhasil menusuk-nusuk relung hati saya.
Lalu saya pun memaksakan senyum saya semampunya. "Iya, ini perihal waktu. Dan beginilah cara gua bertahan. Gua cuman sedang berusaha." Sahut saya, yang mana malah membuat Rendy tersenyum kikuk dan saya tertawa dalam sendu.
***
Memasuki tahun ke tiga atas penantian saya terhadap Maya, tidak ada yang berubah sama sekali. Semua tetap sama.
Saya pernah dengar, dulu Bapak saya bilang begini, "dunia tidak berporos hanya pada diri mu. Dunia tidak pernah peduli, mau kamu terluka seberapa parah atau seberapa mengenaskan nya diri kamu. Dunia akan terus berputar. Masih ada hari esok. Langit masih tinggi, burung-burung pun tetap berkicau. Jadi seumpama kamu terluka dan perlu waktu buat istirahat ya silahkan. Tidak akan masalah seberapa lama itu selagi kamu tidak merugikan orang lain. Yang penting, sembuh dulu. Biarkan dunia kamu berjalan sebagaimana mestinya." Dan saya hanya melakukan apa yang Bapak katakan pada hidup saya. Saya menjalankan hidup saya sebagaimana mestinya. Saya tidak menyerah, saya hanya tengah istirahat dan berusaha sembuh dari luka-luka saya, persis seperti yang Bapak bilang dulu.
Namun nyatanya, yang saya lakukan adalah menunggu sampai bekas luka itu hilang. Padahal luka itu sembuh sejak lama, namun bekas nya akan tetap ada.
Saya tersenyum getir menatap lurus pada padatnya jalanan. Sementara tangan saya mulai gemetar sebab beberapa menit yang lalu hujan mengguyur kota ini begitu lebat dan sekarang malah menyisakan hawa dingin luar biasa.
"Masih mau menunggu?" Dan Rendy adalah orang yang tidak pernah bosan untuk menghampiri saya di bawah sinar lampu jalan.
"Gua cuma membiarkan dia hidup pada ingatan gua, yang kurun waktu nya tak pernah usai. Lagian, mau gua tungguin berapa lama pun dia gak akan kembali." Saya terkekeh, lalu meremat bucket bunga kesukaan Maya jauh lebih erat. Sesak pada dada saya mulai mengisi penuh luka yang menganga pada relung hati saya.
"Dan sekarang lo sadar?" Tanya Rendy, ia menatap saya dengan sendu.
"Gua sadar sejak awal Ren. Gua sepenuhnya sadar. Gua cuma tengah mengais hangatnya Maya. Gua cuma, lagi rindu dia." Sahut saya yang mungkin saja terdengar begitu menggelikan di telinga Rendy.
Namun alih-alih tertawa atau mengejek seperti biasa, Rendy hanya tersenyum maklum. "Sepertinya, Maya gak akan pernah pergi dari lo. Dia memang terkurung dalam relung hati lo." Katanya. Kini, giliran saya yang tertawa. Puas dengan kalimat Rendy.
"Hahaha! Nyatanya, ada lubang menganga di hati gua Ren. Dan itu sebab Maya. Dia pergi nya terlalu jauh. Bahkan sudah sejak lama, kota ini dingin. Kota ini sepi. Hangat dan ramainya kota ini, telah Maya bawa pergi. Sementara yang ia tinggalkan adalah cerita yang termakan hayat. Ren, kenapa Tuhan ngambil Maya sih?" Pada malam ini, saya malah memilih menyerah. Terlalu lelah saya menunggu Maya yang tak mungkin lagi kembali. Saya memang istirahat, namun saya terus-terusan menggores luka di lain tempat.
Dan mestinya, saya sadar salahnya saya.
"Karna Tuhan mau lo belajar mensyukuri hidup Mik. Tuhan mau, lo bersyukur atas apa yang lo punya, dan sadar bahwa apa yang lo punya sepenuhnya milik Tuhan, yang mana sewaktu-waktu bisa Tuhan ambil kapan pun. Atau bahkan barangkali Tuhan mau, lo mencintai diri lo sendiri lebih dahulu ketimbang orang lain." Kata Rendy, dua manik matanya tak kalah sendu ketika melihat linang air mata saya mulai tumpah ruah bersamaan dengan bucket bunga saya yang jatuh meluruh ke tanah.
Hari itu saya menangisi luka-luka yang saya miliki. Malam itu saya memilih menutup rapat relung hati saya meski ada lubang yang menganga.
Saya tetap menanti dia, atau malah sebenarnya saya cuma menunggu. Menunggu Tuhan untuk menunjukkan jalan saya menuju dia.
Bagi saya, penantian ini tidak sia-sia meski yang saya dapat malah hampa. Sebab luka yang saya terima bagian dari hidup saya.
.
.
.
-Tamat-
Next, siapa lagi nih?
"Karena apa yang kita punya, sepenuhnya milik Tuhan. Jadi sewaktu-waktu Tuhan bisa mengambil kapan pun. Barangkali Tuhan mau, kita lebih dahulu mencintai diri kita sendiri, ketimbang mencintai yang lainnya."
--- My Everything
Salam, AceLemon
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: LoveTruyen.Me